-
Bandung, Indonesia
Bayangkan ini. Seorang siswa bernama Raka sering terlambat masuk kelas. Setiap pagi, gurunya, Bu Lita, menegurnya dengan nada tegas. "Raka, kamu terlambat lagi! Besok kalau masih terlambat, saya akan suruh kamu berdiri di depan kelas."
Raka hanya menunduk. Bukannya berubah, ia malah semakin sering terlambat. Bahkan, ia jadi makin enggan datang ke sekolah. Hingga suatu hari, Bu Lita mencoba pendekatan berbeda.
"Raka, saya perhatikan akhir-akhir ini kamu sering terlambat. Ada yang bisa Ibu bantu?" tanyanya dengan nada lembut.
Raka terkejut. Ia diam sejenak, lalu berkata, "Bu, saya harus mengantar adik saya ke sekolah dulu, karena Ayah bekerja pagi-pagi sekali."
Dari situ, Bu Lita mengubah strateginya. Ia membuat kesepakatan dengan Raka: jika Raka bisa datang tepat waktu tiga hari berturut-turut, ia boleh menjadi asisten kelas selama satu minggu. Dengan pendekatan ini, Raka pun mulai berusaha lebih keras untuk tidak terlambat.
Selama ini, kita sering mengira disiplin adalah soal hukuman. Jika siswa melanggar aturan, maka ia harus dihukum agar jera. Padahal, hukuman hanya menghentikan perilaku sementara, bukan membangun kesadaran.
Di sinilah Positif Disiplin berperan. Pendekatan ini menekankan hubungan yang penuh hormat, komunikasi yang sehat, serta pencarian solusi bersama. Dengan kata lain, disiplin bukan soal menghukum, tapi membimbing.
"Disiplin bukan berarti menghukum. Disiplin adalah tentang membangun kebiasaan baik dengan penuh kasih." – Jane Nelsen
Menurut metode yang dikembangkan oleh Jane Nelsen, ada lima prinsip utama dalam Positif Disiplin:
Coba bayangkan jika setiap guru mengganti hukuman dengan pendekatan yang lebih empatik dan solutif. Berikut beberapa langkah sederhana yang bisa diterapkan di kelas:
Guru yang menerapkan Positif Disiplin bukan hanya ditakuti, tetapi juga dihormati dan dicintai. Mereka bukan sekadar pemberi tugas dan hukuman, tetapi juga mentor dan sahabat bagi siswanya.
Bu Lita akhirnya berhasil membantu Raka datang tepat waktu. Bukan dengan ancaman, tapi dengan kepercayaan dan solusi. Jika setiap guru bisa seperti Bu Lita, bayangkan betapa indahnya suasana belajar di sekolah kita.
Jadi, siapkah kita mendidik dengan cinta?
AISHA: Sahabat Guru dalam Menerapkan Positif Disiplin
Menerapkan Positif Disiplin membutuhkan pemahaman yang mendalam tentang perilaku siswa dan strategi yang tepat dalam membimbing mereka. Namun, bagaimana jika ada teknologi yang bisa membantu guru dalam proses ini?
AISHA hadir sebagai solusi! Platform berbasis AI ini dikembangkan oleh Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) dan Edutech, dengan dukungan Save the Children, untuk mendukung guru dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif dan suportif.
Dengan AISHA, guru dapat:
✅ Menganalisis pola perilaku siswa dan menemukan pendekatan disiplin yang lebih efektif.
✅ Mendapatkan rekomendasi strategi untuk membangun komunikasi yang lebih empatik dan solutif.
✅ Mengakses berbagai sumber daya tentang Positif Disiplin dan pembelajaran sosial-emosional.
Saatnya bertransformasi dengan teknologi! Dengan AISHA, guru bisa mendidik dengan cinta, membangun hubungan yang lebih kuat dengan siswa, dan menciptakan kelas yang penuh respek serta tanggung jawab. Mari bersama menciptakan lingkungan belajar yang lebih positif dan inspiratif! 🚀✨